Responsive Ads
Home Belanja Marketplace Teknologi

Toco, Calon Pesaing Shopee dan Tokopedia Atau Hanya Sekedar Tempat Pelarian Sementara Para Seller?



Pernah denger nama Toco? Sama, sayapun nggak pernah dan baru-baru ini aja tahu nama Toco. Dan itupun dari video random yang tiba-tiba aja muncul di beranda YouTube saya. Dan nggak saya notice juga sih ya waktu itu. Karena sebagai user, jujur aja saya nggak ngerasa perlu nginstall banyak-banyak apps hanya untuk belanja. Toh di marketplace yang udah ada sekarang barang yang saya cari juga udah ada semua. Cuma, yang akhirnya bikin saya nge-notice marketplace baru ini adalah karena "iming-iming" mereka untuk membebaskan biaya admin/transaksi khususnya untuk seller. Karena seperti yang kita tahu, banyak seller yang mulai mengeluhkan biaya admin yang kini cukup besar baik di Shopee maupun di Tokopedia (saya sebut aja ya, karena nanti saya juga akan bahas 2 marketplace besar ini di postingan yang lain). Dan kehadiran Toco tentu saja sedikit mengobati "sakit hati" mereka sama kedua marketplace besar ini. Saya nggak akan lebih jauh nge-spill berapa besaran biaya admin/transaksi yang harus di bayarkan oleh seller di kedua marketplace ini. Tapi kalau kalian penasaran atau ingin nyari tahu lebih jauh, kalian bisa coba join di group-group komunitas seller dari masing-masing marketplace tersebut.

Kembali ke Toco, ada 1 pernyataan menarik yang diucapkan oleh sang founder di salah satu video podcastnya Gizmologi. Ex. founder TokoBagus ini bilang gini, "Aku cuma mau siap kalau mereka gagal". Dimana gagal yang dimaksud disini adalah kegagalan marketplace yang sudah ada untuk mengakomodir kebutuhan seller dengan baik. Dan sebagai contoh, dia bilang gini. Saat ini, banyak seller di "Ijo" yang bete karena harus joget-joget dulu untuk jualan wkwkwk (jujur saya ketawa karena tau maksudnya apa). Sementara di "Oren" banyak seller yang bete karena biaya adminnya yang terus naik. Cukup masuk akal sebetulnya, karena di kondisi dimana baik seller maupun buyer sama-sama happy lu nggak akan punya cukup amunisi untuk ngelawan marketplace besar yang udah duluan ada. Yes, karena udah pasti kalah modal. Sebaliknya, ketika ada salah satu pihak yang mulai kecewa lu bisa hadir untuk jadi solusi. Meski hal negatifnya, Toco mungkin akan dicap sebagai marketplace yang hanya menjual "sakit hati para seller" yang kecewa dengan marketplace besar.

Dan gini, meski lu bisa ngajak seller untuk pindah. Lu nggak bisa hanya berharap bahwa ketika sellernya pada pindah, buyernya juga akan ikut pindah. Terlebih dengan habit belanja yang ada saat ini. Ya, gimana ceritanya lu berharap buyer akan pindah ketika lu sendiri masih enggan untuk "bakar duit". Bagus sih analoginya Om Arnolds, bahwa tanpa biaya admin/transaksi yang mereka bebankan ke seller, seller mestinya bisa jual barang dengan harga yang lebih murah di Toco. But, kenyataannya seller tetap jual itu di harga yang sama dengan yang mereka jual di marketplace sebelah bahkan jauh lebih mahal. Lha terus apa bedanya?

Gini lah ya, kalau saya memposisikan diri saya sebagai buyer. Buat apa saya beli berang yang sama dengan harga yang lebih mahal dan masih harus bayar ongkos kirim. Sementara saya bisa beli itu diharga yang lebih murah dengan gratis ongkos kirim pula. Ya, nggak make sense dong untuk saya pindah beli disitu.

Karena ketika lu ada di posisi buyer, lu hanya ingin dapat barang yang lu butuhin diharga yang paling murah, That's it. So, lu mau jelasin ngalor ngidul tentang asal usul modal yang dipake oleh marketplace untuk bakar-duit pun mereka nggak akan perduli. Bahkan lu mau edukasi mereka bahwa investasi yang diterima marketplace adalah hutang jangka panjang yang harus dibayar dikemudian hari, dan mungkin akan dibebankan ke seller melalui kenaikan biaya admin pun percumah bro mereka nggak akan perduli.

Jangan salah, saya setuju lho kalau dibilang dunia e-commerce saat ini lagi kacau banget. Dan saya juga tahu kalau untuk survive mereka terpaksa harus bakar duit untuk ngasih subsidi ini dan itu ke buyer. Yang kemudian juga dibebankan ke seller. Masalahnya, emak-emak yang tiap tengah malem buta bangun buat nge-war kupon diskon pada mau tahu nggak? karena suka nggak suka, habit belanja kita sekarang memang ada di level itu #InThisEconomy.

Beda sama zaman dulu ketika beliau sukses dengan TokoBagus-nya. Karena saat itu, yang dijual adalah "Trust". Saat itu, trust level untuk belanja online masih rendah banget. Itu kenapa, zaman dulu ada yang namanya rekber kalau kita mau transaksi di FJB Kaskus (meskipun akhirnya bermasalah). Dimana konsep rekber inilah yang sebetulnya diadaptasi oleh markerplace yang ada saat ini. Dan saya masih inget banget, untuk ngebangun "trust" itu tadi TokoBagus sempat punya program verified seller, dimana untuk dapet badge verified seller, kita mesti verifikasi alamat, dan nanti pihak tokobagus akan ngirim surat dalam bentuk fisik ke alamat rumah kita untuk memastikan bahwa kita benar beralamat disana. Yang mau saya tekankan adalah, eranya udah beda. So, pendekatannya juga udah beda.

Saya suka ketika dia bilang kalau Di Toco pun ujungnya pasti akan ada marketing. Dia nggak yang secara naif bilang kalau kita nggak butuh investor atau marketing sama sekali. No, dia bilang bahwa ujungnya pasti akan kearah sana. Tapi dia nggak mau ngelakuin itu diawal. Kalau mau pakai bahasa anak-anak sekarang, dia tuh mau ngecek ombak dulu sebenernya. Dia nggak mau bakar duit untuk ngenalin Toco secara besar-besaran kalau ujung-ujungnya bakal kaya MatahariMall. Paham ya? Dia mau Toco dikenal bukan karena marketing/bakar duit tp karena bisa solved the problem. Karena menurutnya, Toco itu kelanjutan dari TokoBagus yang dianggap sebagai "unfinished business". Dan saya juga baru tahu dari podcast ini, kalau ternyata saat itu sempat ada mimpi/gagasan untuk mengubah TokoBagus menjadi Marketplace meski akhirnya ditolak oleh para investor/pemegang saham. Dan Tokopedialah yang akhirnya muncul. Saya sempat ngebayangin ya barusan, kalau aja TokoBagus bener-bener ngerubah arah bisnisnya saat itu dari classified ads ke bisnis e-commerce kemungkinan besar mereka bisa lebih sukses daripada Tokopedia atau bahkan Shopee, karena zaman itu siapa yang nggak kenal sama nama TokoBagus? But ya, who knows kan kalau bisnis e-commerce bakalan sebesar ini di Indonesia.

But, saya suka sama gagasan om Arnold yang mau ngebawa Toco jadi Alibabanya Indonesia. Yang bisa membawa produk Indonesia sampai ke pasar luar negeri. Entah kenapa, visi ini jauh lebih "sexy" dari pada hanya sekedar ngerancang Toco sebagai tempat pelarian para seller yang kecewa sama marketplace besar.

Dan supaya fair, saya mau sedikit nge-review aplikasinya juga. Jujur, salah satu hal yang paling saya suka dari aplikasi Toco adalah karena aplikasinya ringan banget. Nggak ada fitur live yang sebetulnya memang nggak perlu ada kaya yang biasa saya jumpai di Marketplace Oren. Sayangnya, fitur verifikasi email mereka sepertinya masih nge-bug. Karena setelah saya input alamat email dan klik link verifikasi yang dikirimkan, di aplikasi statusnya tetep nggak berubah dan saya malah diminta masukan email lagi untuk verifikasi

Kedua, ongkirnya mahal banget. Emang sih begitu buka aplikasi Toco kalau mau scroll kebawah dikit ada tuh tulisan "buruan klaim promonya!" Voucher gratis ongkir A,B,C masalahnya kuotanya terbatas dan kayanya juga udah dihabisin sama seller-seler yang pada FO. Yang ini nanti saya bahas juga. Jadi antara harga barang yang dibeli sama ongkirnya malah jadi lebih mahal ongkirnya.



Misal, saya coba nyari elco 10uf 50v dan harga termurah yang bisa saya temuin tuh di Rp 350 /pcs padahal di Tokopedia saya bisa dapet barang yang sama diharga Rp 165 /pcs. Ok, kita coba keranjangin 20 pcs ya. Totalnya jadi Rp 7.000 coba kita klik beli.



See, nggak ada free ongkir sama sekali, dan ongkir paling murah tuh Rp 34.000 padahal harga elconya cuma Rp 7.000. 




Dan ternyata, saat saya coba pilih metode pembayaran, nggak ada satupun yang available karena harga barangnya dibawah Rp 10.000 hehe 




Bandingin sama Tokopedia, udah harga barangnya lebih murah, dapet free ongkir sameday, masih dapet diskon 99% Rp 5.000 pula (untuk yang langganan Plus). So total saya cuma perlu bayar Rp 700 30 pcs elco. 


Jadi ya again, analogi bahwa bebas biaya admin/transaksi akan membuat seller menurunkan harga barangnya saat jualan di Toco ternyata nggak terbukti.

Ketiga, dan ini yang menurut saya agak kurang sehat. Banyak seller yang ternyata juga menggunakan trik FO (Fake Order) di Toco. Awalnya, saya sempet agak wow tuh pas Om Arnold bilang di podcastnya Gizmologi kalau Toco berhasil mencatatkan lebih dari 1 juta penjualan dalam 1 bulan pertama kemunculan mereka. But, setelah saya coba install aplikasinya dan cek-cek bentar lapak-lapak jualannya. Nggak butuh waktu lama buat saya untuk tahu kalau sebagian besar angka ini ternyata berasal dari seller yang FO barangnya sendiri untuk naikin rating toko.


Contoh nih ya, masuk akal nggak sih kalau dari 60.000 transaksi selesai hanya ada 10 rating dan 6 ulasan? Dan ada gitu orang jual parfum cuma 0,5ML? Ya bener sih, hal pertama yang akan jadi pertimbangan buyer saat mau beli sesuatu pasti dari reviewnya dulu. Cuma ya nggak perlu yang sampe segitunya juga kali, itu tuh macem ada orang beli followers instagram 100rb followers tapi tiap kali dia update feed yang like cuma 5 orang. Yes, nggak ada engagement-nya sama sekali. Kalau saya sih malah ragu mau transaksi disitu, mending cati toko lain yang ratingnya wajar.


Keempat, dan ini yang parah banget. Saya ngerti sih, kalau Toco cuma dapet cuan dari biaya parkir (yang saat ini masih di gratisin) dan classified ads alias jualan iklan baris. Dan saya paham juga kalau untuk menghemat cost mereka mungkin menggunakan AI ketimbang harus hire banyak pegawai untuk moderasi kaya zaman TokoBagus dulu. Tapi ya nggak yang iklan model gini juga kali yang di lolosin, mana munculnya dipaling atas lagi. Minimal di filter by keyword lah supaya yang model gini nggak lolos.

Terakhir, kalau boleh sedikit mengomentari pernyataan beliau di podcast tersebut. Beliau sempat bilang kalau posisi Toco tuh sebetulnya sama persis kaya mall fisik. Dimana kalau ada pengunjung yang datang, Toco hanya akan menagih "biaya parkir" sebesar Rp 2.000. Jadi semisal pengunjung kemudian memutuskan untuk nonton film di bioskop setelah masuk kedalam mall tersebut, ya uang itu masuknya ke merchant. Bukan ke pemilik atau pengelola mall. Ya emang sih, kalau kita nonton bioskop didalam mall misal di XXI gitu ya kita bayarnya ya pasti ke kasir XXI bukan langsung ke pengelola mall, cuma kan XXI-nya tiap bulan pasti bayar biaya sewa ke pengelola mall. Kalau gitu Toco bakalan narik biaya sewa alias admin fee juga dong kedepan? Jujur, agak blunder sih kalau mau dianalogikan dengan mall fisik hehe

No offense ya, ini cuma review jujur saya aja sih. Dan kalau kedepan Toco bisa semenarik Tokopedia atau Shopee mungkin akan saya pertimbangkan untuk mulai belanja disana juga sih. Tapi untuk saat ini, sorry to say, saya belum nemu "hal menariknya". 

Podcast yang saya maksud dipostingan ini:

 


Comments
Responsive Ads
Responsive Ads
Responsive Ads
Additional JS